
Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2022 tentang Budaya Pemerintahan adalah peraturan yang mengatur pedoman pelaksanaan nilai-nilai budaya pemerintahan untuk mewujudkan aparatur yang transparan, akuntabel, dan efisien di DIY. Peraturan ini menggantikan peraturan sebelumnya Pergub Prov. DIY No. 53 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Budaya Pemerintahan dan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 72 Tahun 2008 tentang Budaya Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta karena sudah tidak sesuai dan menyelaraskan nilai kekhasan budaya Yogyakarta dengan nilai dasar seperti berorientasi pelayanan, akuntabel, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif.
Filosofi yang mendasari pembangunan daerah Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta adalah “Hamemayu Hayuning Bawana”, sebagai cita-cita luhur untuk mewujudkan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya.
Hakikat budaya adalah hasil cipta, karsa, dan rasa yang diyakini masyarakat sebagai sesuatu yang benar dan indah. Demikian pula Budaya Jawa yang diyakini oleh masyarakat Yogyakarta sebagai salah satu acuan dalam hidup bermasyarakat, baik ke dalam maupun ke luar. Ini berarti bahwa budaya tersebut bertujuan untuk mewujudkan masyarakat gemah ripah loh jinawi, ayom, ayem, tata, tentrem, karta raharja. Dengan perkataan lain bahwa budaya tersebut akan bermuara pada kehidupan masyarakat yang penuh dengan kedamaian, baik ke dalam maupun ke luar.
“Hamemayu Hayuning Bawana” mengandung makna sebagai kewajiban melindungi, memelihara serta membina keselamatan dunia dan lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat daripada memenuhi ambisi pribadi. Dunia yang dimaksud mencakup seluruh peri kehidupan baik dalam skala kecil (keluarga), ataupun masyarakat dan lingkungan hidupnya, dengan mengutamakan darma bakti untuk kehidupan orang banyak, tidak mementingkan diri sendiri.
“Hamemayu Hayuning Bawana” mengandung makna sebagai kewajiban melindungi, memelihara serta membina keselamatan dunia dan lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat daripada memenuhi ambisi pribadi. Dunia yang dimaksud mencakup seluruh peri kehidupan baik dalam skala kecil (keluarga), ataupun masyarakat dan lingkungan hidupnya, dengan mengutamakan darma bakti untuk kehidupan orang banyak, tidak mementingkan diri sendiri.
Deferensiasi atau turunan dari filosofi Hamemayu Hayuning Bawana dalam konteks aparatur dapat dijabarkan menjadi tiga aspek:
- Rahayuning Bawana Kapurba Waskithaning Manungsa (kelestarian dan keselamatan ditentukan oleh kebijaksanaan manusia).
- Darmaning Satriya Mahanani Rahayuning Nagara (pengabdian ksatria menyebabkan kesejahteraan dan ketentraman negara).
- Rahayuning Manungsa Dumadi Karana Kamanungsane (kesejahteraan dan ketentraman manusia terjadi karena kemanusiaannya).
Budaya Pemerintahan SATRIYA merupakan nilai-nilai yang terkandung di dalam filosofi Hamemayu Hayuning Bawana. SATRIYA memiliki dua makna:
Pertama, SATRIYA dimaknai sebagai watak ksatria. Watak ksatria adalah sikap memegang teguh ajaran moral: sawiji, greger, sengguh, ora mingkuh (konsentrasi, semangat, percaya diri dengan rendah hati, dan bertanggung jawab). Semangat dimaksud adalah golong gilig yang artinya semangat persatuan kesatuan antara manusia dengan Tuhannya dan sesama manusia. Sifat atau watak inilah yang harus menjiwai seorang aparatur dalam menjalankan tugasnya.
Makna kedua, SATRIYA sebagai singkatan dari:
- Selaras,
- Akal budi Luhur-jatidiri,
- Teladan-keteladanan,
- Rela Melayani,
- Inovatif,
- Yakin dan percaya diri, dan
- Ahli-Profesional.
Masing-masing merupakan butir-butir dari falsafah Hamemayu Hayuning Bawana yang memiliki makna dan pengertian luhur.